- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Mungkin masih
bingung dengna narasi fatwa digital, akhir-akhir ini sering kali orang orang
mencari kebenaran tentang apapun bahkan tentang perihal agama dari media
sosial. Yang mana media sosial memberikan data yang kita cari sesuai dengan algoritma
yang bergerak. Pertanyaan akan muncul yaitu apakah benar algoritma yang
diberikan oleh digital tersebut.
Fatwa Digital Berdampak pada Kebenaran Sumber
Di era digital
ini kita menyaksikan transformasi luar biasa dalam cara umat manusia mencari
kebenaran. Salah satu perubahan paling mencolok adalah munculnya fatwa digital yakni
panduan keagamaan yang tidak lagi hanya diterbitkan lewat mimbar masjid atau mondok
dipesantren selama bertahun tahun yang
mempelajari kitab klasik, tetapi hadir
lewat gawai, media sosial, dan mesin pencari.
Fatwa digital
begitu sangat menjanjikan kemudahan dan kecepatan, satu klik bisa menjawab
puluhan pertanyaan seputar ibadah, hukum makanan, bahkan pilihan politik.
Namun, di balik kemudahannya, muncul pertanyaan penting sejauh mana fatwa
digital berdampak pada kebenaran sumber?
Kemudahan
Akses, Tantangan Validitas
Jika dahulu
seseorang harus berguru kepada ulama, memahami konteks, dan mendalami sumber dari
kitab atau buku satu degan yang lainnya dan membutuhkan waktu yang cukup lama
untuk mematangkan kebenaran yang ada, kini banyak yang sekedar cukup mengetik “hukum ini itu menurut Islam”
dan langsung mempercayai jawaban pertama yang muncul. Akibatnya, otoritas
keilmuan tergeser oleh algoritma.
Bukan berarti
fatwa digital tidak valid. Banyak lembaga resmi seperti MUI, NU, Muhammadiyah,
hingga Dewan Fatwa Internasional yang sudah menyesuaikan diri dengan media
digital. Masalahnya terletak pada siapa yang mengeluarkan fatwa dan bagaimana
kita mengecek kebenaran sumbernya. Banyak konten agama beredar tanpa
klarifikasi sanad keilmuan, konteks dalil, atau pendapat mazhab yang sah.
Kebenaran Sumber dan Krisis Literasi Keagamaan
Mungkin pada saat ini kita sedang dalam menghadapi krisis
literasi keagamaan digital. Bukan karena orang tidak bisa membaca atau banyaknya
orang yang menulis tentang keagaamaan yang berdasarkan sumber yang jelas,
tetapi karena terlalu cepat percaya tanpa verifikasi. Kebanyakan orang melihat
kebenaran seolah berasal dari jumlah like dan share, bukan dari argumentasi dan
otoritas keilmuan.
Fenomena ini juga
berdampak pada polarisasi pemahaman agama. Fatwa digital bisa dipakai untuk
memperkuat opini pribadi, bahkan tanpa memahami perbedaan pandangan. Akhirnya,
bukan lagi kebenaran yang dicari, tapi pembenaran.
Solusi: Melek
Sumber dan Kritis dalam Beragama
Apa yang bisa
dilakukan? Pertama, edukasi tentang otoritas ilmiah perlu ditekankan.
Masyarakat perlu tahu siapa yang layak memberi fatwa dan bagaimana proses
istinbat hukum bekerja. Kedua, perlu ada literasi digital berbasis agama, yang
tidak hanya mengajarkan cara mencari informasi, tapi juga cara menilai sumber
secara kritis dan etis.
Dan terakhir, jangan
lupakan pentingnya berguru secara langsung. Teknologi memang membantu, tapi
tidak bisa menggantikan nilai-nilai adab, proses tanya-jawab, dan pemahaman
kontekstual yang hanya bisa didapat dari interaksi manusia.
- Dapatkan link
- X
- Aplikasi Lainnya
Komentar
Posting Komentar